Kamis, 02 Juni 2011

bagaimana mau menangani klien, jika anda belum selesai dengan diri sendiri?

"mobil derek yang jatuh ke jurang tak akan mampu menderek mobil yang mogok'

jika profesi anda adalah helping profession seperti saya, maka tugas petama kali yang harus kita selesaikan adalah berdamai dengan diri kita. selesaikan masalah kita baru kita bisa menyelesaikan masalah orang lain (dengan seizinNya).
kenapa tulisan ini saya buat? karena dalam perjalanan hidup saya, tidak sedikit saya menemukan rekan-rekan sejawat yang setiap bertemu mengeluhkan masalah pribadinya. masalah baik yang dihadapi sekarang amaupun masalah konflik masa lalu yang tidak selesai. Atau dari sisi spiritual, dia sedang bermasalah dengan Yuhan. nah ini yang paling gawat. hampir bisa saya pastikan bukan selesai masalah orang tapi justeru semakin bertambah. menggunakan prinsip induksi, energi negatif yang ada pada diri kita akan mengimbas pada orang yang intens berinteraksi dengan kita. jadi kalau kita ngacau yang klien kita bakalan lebih ngacau gitu.

kuncinya apa?
1. berdamailah dengan masa lalu
memaafkan orang-orang yang pernah menyakiti kita, memaafkan diri kita atas ketidakberdayaan kita sehingga kemungkinan orang disekitar kita ayang kita cintai menjadi menderita karena ketidakmampuan kita melindungi dan sebagainya. selama masih ada dendam di hati, maka kita akan keluar tanpa kesejukan. selembut apapun kita berbicara, aura yang keluar akan tetap ditangkap negatif oleh orang disekitar kita.
2. mendekatlah pada Tuhan
bagaimana kita bisa sombong mengaku menyelesaikan masalah orang tanpa campur tangan Tuhan? kita hanya bekerja selanjutnya biar Tuhan yang bekerja untuk kita. rajin-rajinlah melakukan evaluasi terhadap amalan kita, seberapa sering dan seberapa banyak kita bersedekah, dan seterusnya.
3. bermimpilah
bermimpi untuk menjadi orang yang bahagia dan mampu membahagiakan orang lain. mimpi yang anda bangun secara konsisten adalah kenyataan di hari esok. takut mimpi berarti miskin, karena bermimpi tidak dipungut bayaran.
4. melangkahlah
seribu kilo hanya bisa dilalui jika ada langkah pertama. berat, takut gagal, adalah hal yang wajar. yang luar biasa adalah berani bangkit dan berjalan setelah terpuruk.

terimakasih

Kamis, 07 Januari 2010

"bangsat" ala si luhut

Sebuah adegan "apik" dipertontonkan oleh anggota PANSUS luhut sitompul dan profesor gayus lumbun. Perang mulut yang akhirnya harus keluar kata yang kata orang kotor. dari kejadian itu...ada sebuah status di situs jejaring sosial dari kawan saya menulis kira-kira "dana yang begitu besar untuk memilih wakil rakyat hanya menghasilkan wakil seperti luhut, saya rasa luhut tidak layak mewakili kita".
saya pun tersenyum...tetapi senyuman kali ini agak pahit.Pahit karena kok ya ada masyarakat yang mau memilih orang macam luhut dan yang kedua kenapa kita mudah dialihkan dengan isu yang tidak subsantif. Skandal bank century wajib kita kawal agar terbongkar siapa saja yang menikmati dana trilyunan rupiah tersebut. Upaya politisasi yang dilakukan elit politik tertentu juga adalah hal rawan yang harus kita minimalisir..dengan apa? dengan ide, suara dan apapun yang kita mampu.
"bangsat" ala luhut adalah kekonyolan sekaligus upaya pengalihan isu...

Terapi Anak: Gampang-Gampang Susah (Adi W Gunawan)

dimuat di : http://www.adiwgunawan.com/awg.php?co=p5&mode=detil&ID=228

Seorang Ibu mengeluhkan tingkah laku anaknya, yang berusia 5 tahun, yang menurutnya “liar”, “sulit diatur”, “seenaknya sendiri”, dan mengidap ADHD alias hiperaktif. Prihatin dengan kondisi ini saya memutuskan untuk membantunya dan memberikan jadwal bertemu.

Ibu ini, sebut saja Bu Ani, datang bersama putranya, Budi, ditemani seorang anggota keluarganya. Singkat cerita setelah melakukan diskusi dan wawancara mendalam selama hampir 1 jam saya memutuskan bahwa saya tidak bisa membantu menerapi anak ini. Lho, kok?

Bu Ani sudah tentu terperanjat mendengar keputusan saya dan meminta saya menjelaskan alasan di balik keputusan ini. Lha, dia datangnya jauh-jauh dari luar pulau, berharap bisa mendapat bantuan dari seseorang yang dipandang pakar, eh… setelah bertemu terapisnya malah angkat tangan.

Pembaca, anda mungkin juga bingung mengapa saya sampai “menyerah”?

Ceritanya begini. Sebenarnya melakukan terapi pada anak tidaklah sulit. Secara umum, dalam dunia hipnoterapi kita menggunakan sugesti untuk mempengaruhi dan memodifikasi program pikiran yang ada di pikiran bawah sadar.Saat anak masih kecil maka program pikirannya masih belum kuat dan sangat mudah untuk diotak-atik.

Sugesti ini bisa bersifat langsung maupun yang tidak langsung. Bisa juga menggunakan cerita yang berisi pesan-pesan (baca: program/sugesti) tertentu. Dan asyiknya melakukan terapi pada anak kita tidak perlu melakukan induksi untuk membawa anak masuk kondisi trance. Mengapa? Saat anak masih kecil, critical factor anak masih belum terbentuk atau masih lemah sehingga sangat mudah ditembus. Dengan kata lain anak pada umumnya telah berada dalam kondisi trance.

Sugesti yang diberikan biasanya sangat manjur untuk membantu anak untuk berubah. Apalagi bila orangtua mendukung dengan melakukan “terapi” (baca: perubahan pola asuh) di rumah.

Ini skenario yang ideal. Anak dibawa ke terapis. Terapis melakukan hal-hal yang perlu dilakukan untuk membantu anak mengubah perilakunya dan perubahan ini diperkuat dengan bantuan kedua orangtuanya di rumah. Enak tenan jika dapat klien seperti ini.

Namun ceritanya tidak selalu seindah dan semudah contoh di atas. Pada kasus di atas yang saya tangani dan juga pada sangat banyak kasus lain yang ditangani rekan sejawat saya, kesulitan terbesar adalah terlalu banyak faktor yang mempengaruhi kehidupan anak sehingga akhirnya anak menjadi “bermasalah”. Bingung?

Mudahnya begini. Anak tumbuh besar dalam satu keluarga. Dan apa yang ia alami, saat tumbuh kembang, berinteraksi, dan menjalani hidupnya, mulai kecil hingga besar semuanya dipengaruhi secara langsung, maupun tidak langsung oleh lingkungannya.

Apa yang dimaksud dengan lingkungan? Apakah rumah atau lingkungan tempat tinggalnya?

Yang dimaksud dengan lingkungan adalah lebih tepatnya siapa saja yang berinteraksi secara intens dengan anak pada masa pertumbuhannya. Siapa yang menjadi pengasuh utamanya sejak ia kecil? Dan apa saja yang pengasuh ini lakukan atau berikan kepada si anak? Pengalaman hidup seperti apa yang anak alami? Semua pengalaman hidup ini mengakibatkan terciptanya perilaku tertentu dalam diri anak.

Pola hidup di timur berbeda dengan di barat. Di barat, yang dimaksudkan dengan keluarga adalah ayah, ibu, dan anak (bisa hanya satu anak, bisa lebih) yang tinggal di satu rumah. Sedangkan di timur, yang dimaksud dengan keluarga adalah ayah, ibu, anak (bisa hanya satu anak, bisa lebih) , dan biasanya masih ada kakek, nenek, paman, tante, suster, pembantu yang tinggal di rumah yang sama, dan juga termasuk “pengasuh” TV.

Jika di barat, saat terapis menangani kasus anak yang “bermasalah” maka yang dilakukan terapis adalah menerapi si anak dan melakukan edukasi pada kedua orangtua untuk bisa membantu anak berubah. Orangtua melakukan peran mereka di rumah dan menjadi partner terapis. Ini yang kita lihat di acara televisi Nanny 911. Hanya dalam waktu yang sangat singkat anak dan keluarga itu mengalami transformasi yang sungguh luar biasa.

Di Indonesia, kita, terapis, selain perlu menerapi anak, juga perlu memberikan edukasi pada kedua orangtuanya. Ada orangtua yang dengan sadar mengakui kesalahan mereka dalam mendidik anak sehingga mengakibatkan anak mereka menjadi bermasalah. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa mereka bertanggung jawab atas apa yang anak mereka alami dan bersedia belajar dan berubah demi kebaikan dan kemajuan anak. Jika bertemu dengan orangtua seperti ini maka terapi menjadi sangat mudah dan efektif.

Namun ada juga kedua orangtua yang sama sekali tidak bersedia bekerjasama. Maunya mereka anak ini dibawa ke terapis dan begitu keluar dari ruang terapi anak sudah “beres” luar dalam. Mereka berasumsi bahwa yang bermasalah adalah si anak, bukan mereka. Jadi yang perlu dibereskan adalah anak. Padahal kita tahu bahwa anak adalah produk dari sistem keluarga. Lha, kalau produknya “cacat” berarti yang perlu dibenahi sebenarnya adalah sistem yang menghasilkan produk itu, bukan produknya.

Saya biasa menyebut orangtua seperti ini sebagai orangtua tipe “laundry”. Anak diibaratkan baju yang kotor dan dibawa ke binatu. Begitu keluar dari binatu maka baju sudah bersih, rapi, wangi, dan licin. Kalau seperti ini kondisinya

Ada lagi yang hanya salah satu orangtua saja yang mau berubah dan mendukung proses terapi. Ini juga problem yang sering kita hadapi saat memberikan terapi pada anak atau keluarga.

Kesulitan lainnya, walaupun orangtua telah bersedia berubah demi anak mereka, seringkali faktor X seperti pengaruh dari orang tua lain yang tinggal bersama anak itu, misalnya kakek, nenek, paman, kakak, tante, suster, atau pembantu, plus televisi, tidak mendukung proses perubahan yang sedang diupayakan terjadi dalam diri anak.

Untuk lebih memudahkan anda memahami apa yang saya ceritakan saya akan memberikan contoh beberapa skenario yang biasanya terjadi. Skenario ini dengan asumsi terapisnya kompeten melakukan terapi.

Anda bisa membayangkan anak seperti sebuah komputer yang siap untuk diprogram. Nah, siapa saja yang akan menjadi programmer yang memasukkan program yang mempengaruhi hidup anak?

Skenario pertama: Anak bermasalah, kedua orangtua mendukung proses terapi, dan di rumah tidak ada faktor lain yang mempengaruhi proses terapi yang diberikan. Kalau ini yang terjadi maka terapi akan berjalan mulus dan mudah.

Skenario kedua: Anak bermasalah, hanya salah satu orangtua saja, misalnya ibu atau ayah, yang mendukung proses terapi, dan di rumah tidak ada faktor lain yang mempengaruhi proses terapi yang diberikan. Kalau ini yang terjadi maka terapi akan mengalami hambatan.

Skenario ketiga: Anak bermasalah, kedua orangtua sama sekali tidak bersedia mendukung proses terapi, dan di rumah tidak ada faktor lain yang mempengaruhi proses terapi yang diberikan. Kalau ini yang terjadi maka terapi tidak mungkin bisa dilakukan.

Skenario keempat: Anak bermasalah, kedua orangtua mendukung proses terapi, namun di rumah ada faktor lain yang mempengaruhi proses terapi yang diberikan. Misalnya ada orang tua lain, seperti kakek, nenek, paman, tante, kakak, suster, dan atau televisi yang memberikan pengaruh yang tidak sejalan dengan proses terapi yang dilakukan. Kalau ini yang terjadi maka terapi akan sangat terhambat, jika tidak mau dikatakan tidak bisa dilakukan. Apapun yang dilakukan terapis bersama kedua orangtua anak akan mendapat hambatan. Ini sama seperti melakukan lomba Tag Team di mana 3 orang, terapis dan kedua orangtua anak, beradu kekuatan melawan tim lain yang terdiri dari kakek, nenek, paman, tante, kakak, suster, atau televisi.

Skenario kelima: Sama seperti skenario keempat namun yang mendukung proses terapi hanya salah satu orangtua. Dalam kondisi ini terapi tidak akan efektif.

Skenario keenam: Semua anggota keluarga di rumah sama sekali tidak mendukung proses terapi. Jika ini yang terjadi maka terapi sama sekali tidak bisa dilakukan. Karena dalam skenario ini yang terjadi adalah terapis “melawan” tim lain yang jauh lebih kuat.

Anda jelas sekarang?

Alasan saya “menyerah” menangani Budi karena kasusnya masuk kategori kelima. Selain si ayah sama sekali tidak mau tahu mengenai kondisi anak, di rumah juga ada kakek dan nenek si anak, yang nota bene adalah mertua Bu Ani, yang pola asuh dan pendidikannya berbeda dengan yang diterapkan oleh Bu Ani. Dalam hal ini selain terjadi konfllik pola asuh juga inkonsistensi dan penanaman belief dan nilai-nilai hidup.

Oh ya, yang saya ceritakan di atas adalah skenario yang ada pada anak dan keluarganya. Bagaimana dengan si terapis?

Ada beberapa faktor yang juga mempengaruhi hasil dan proses terapi. Pertama, terapis harus memiliki kompetensi yang baik. Kedua, pengalaman nyata dalam kehidupan berkeluarga. Ini sangat penting untuk postur dan meyakinkan kedua orangtua anak bahwa si terapis benar-benar tahu apa yang ia lakukan.

Jika, misalnya, si terapis masih sangat muda usianya, apalagi belum menikah, dan dalam proses terapi perlu melakukan edukasi pada orangtua anak mengenai cara mendidik anak yang baik, maka seringkali saran dari terapis ini tidak dijalankan atau dilakukan oleh orangtua. Padahal saran yang diberikan sudah benar dan sangat bagus.

Mengapa?

Secara pikiran sadar kedua orangtua bisa menerima saran dari terapis. Namun secara pikiran bawah sadar mereka tidak yakin pada si terapis karena terapisnya selain usianya masih sangat muda juga belum punya anak.

Pembaca, anda jelas sekarang? Melakukan terapi pada anak memang gampang-gampang susah. Jika boleh memilih, saya lebih suka melakukan terapi pada orang dewasa karena, dari pengalaman saya, lebih mudah. Lebih mudahnya bukan karena kasusnya ringan namun lebih mudah karena faktor X yang mempengaruhi klien tidaklah sebanyak yang mempengaruhi anak.

Saya akhirnya mengajarkan beberapa hal penting kepada Bu Ani untuk dilakukan di rumah untuk membantu Budi. Namun jujur saya tidak bisa berharap banyak karena yang mau membantu Budi hanyalah Ibunya. Sedangkan anggota keluarga yang lain tidak bisa diajak kerjasama.

Rabu, 06 Januari 2010

hypnosis haram (tulisan Asep Haerul Ghani)

Berikut adalah tulisan Bpk. Drs.Asep Haerul Gani,Psikolog.
Tulisan ini dimuat di www. portalnlp.com
silahkan klik sumbernya di : http://portalnlp.com/?p=355

"Hypnosis itu Haram"

“ Kang Asep, bagaimana hukumnya mempelajari Hypnosis? “

“Apakah mempelajari NLP dan Hypnosis itu dapat dibenarkan sesuai Syari;ah , Kang ?

“ Bukankah dalam Hypnosis itu digunakan kekuatan Jin sehingga ini bagian dari praktek kuasa kegelapan?”

“ Pondok pesantren kok mengajarkan Hypnosis sih? Kok kontradiksi sih harusnya kan mengajarkan kebaikan lha kok malah mengajarkan kesesatan? “

Pertanyaan-pertanyaan senada baik tidak langsung maupun langsung sudah biasa saya dapatkan, khsusnya saat menyampaikan kuliah, ceramah, workshop mengenai Hypnosis. Rupanya benar kata orang bijak bahwa manusia seringkali takut akan hal yang belum diketahuinya. Hal ini tidak hanya menerpa pada orang awam. Sebagian ilmuwan pun yang dididik untuk menghindari apriori dan melakukan aposteriori kadang terjebak dalam memberikan judgment sebelum mengetahui dan mendalami fenomenanya.

Tahun 2007, panitia seminar ilmiah dan workshop yang semula menyatakan senang saat saya bersedia sharing tentang Hypnotherapy , suatu kali menelpon “Mohon maaf kang Asep, kayaknya kegiatan sharingnya bisa batal, ada kolega saya yang menentang dan berkata bahwa belajar hypnosis itu haram. Sekarang ini saya sedang ketemu dengan Majlis Ulama Indonesia di kota propinsi untuk menanyakan fatwa mengenai hal ini”. Menjelang kegiatan saya tiba-tiba ditelepon, “Kang Asep ternyata tidak ada fatwa MUI yang mengatakan Hypnosis itu Haram, jadi workshopnya dapat dilanjutkan“.

***

Saya hadir di hari pertama sebagai penyampai makalah hasil penelitian “Hypnotherapy effect of ibadah”. Baru saja saya menyampaikan pengantar, pemakalah lain yang kebetulan tampil sebelum saya menyatakan “Hypnosis itu Haram , memperdaya pikiran orang, memperlakukan orang lain seperti budak yang tidak punya kehendak, dan memanipulasi orang lain, karena itu tidak perlu Anda membahas hasil penelitian Anda”.

Pernyataan ini ditimpali oleh audiens lain “Hypnosis itu haram, melibatkan setan di dalamnya, dan hanya dilakukan dengan kekuatan khadam atau jin”.

Karena moderator terhipnosis oleh hujatan-hujatan yang cenderung memanas dan tidak sempat menengahi, saya dengan suara lantang menyampaikan “ Hadirin sekalian, bila kita sepakat ini adalah forum ilmiah, berikan saya kesempatan untuk menguraikan hasil penelitian saya secara lengkap, kemudian silakan sanggah dan bantah bila secara metodologi ilmiah ada kekeliruan”.

Untunglah sang kolega juga hadirin mau mengikuti saran saya. Saat saya paparkan dasar kajian, definisi, fenomena, proses, langkah hypnotherapy serta efek hypnotherapy dari kegiatan ibadah, alih-alih mendapatkan sanggahan dan hujatan, malah yang terlihat audience anggukan kepala tanda setuju dan mendengar komentar“Ohhhh gitu tohhh!”. Bahkan pemakalah-pemakalah berikutnya yang kebanyakan menampilkan rancangan-rancangan penelitian menjadikan hasil penelitian saya sebagai rujukan,”Masya Allah”.

***

Di luar seminar, saya menemui kolega dan audiens yang menyatakan Hypnosis itu Haram dan bertanya, “Apakah anda pernah mempelajari Hypnosis secara akademik? Apakah anda pernah mempelajari Hypnosis di laboratorium? Apakah anda pernah mempelajari Ericksonian hypnosis? “

“Tidak…. Tidak pernah…!

“Apakah pendapat Anda ‘Hypnosis itu memperdaya pikiran orang, memperlakukan orang lain seperti budak yang tidak punya kehendak, dan memanipulasi orang lain’ adalah akibat penemuan sendiri? Atau hasil dari pembuktian ilmiah? “

“Tidak …

“ Lalu bila demikian atas dasar apa Anda mengatakan Haram ?

“ Karena Tokoh X , yang saya pandang sebagai Guru mengatakan demikian..”.

“ Baiklah. Seminar ini adalah seminar hasil penelitian. Tentu saja pendapat dari otoritas dapat kita gunakan sejauh itu berdasarkan hasil amatan, kajian dan penelitian dan daya kritisi kita terhadap pendapat Otoritas, serta Otoritas memang adalah orang yang dipandang ahli dalam bidang tersebut. Menurut pendapat saya, tokoh X yang Anda katakan tadi, maaf bukanlah otoritas dalam bidang Hypnosis , bahkan jangan-jangan belum pernah mempelajari mengenai Hypnosis dan tidak pernah tahu apa fenomena Hypnosis dan tidak pernah tahu persis bagaimana proses Hypnosis terjadi. Bila demikian halnya bagaimana bisa pendapatnya dipakai. Bukankah dengan demikian kita melakukan fals logic?

“ Lalu kalau begitu, apa dong langkah yang harus saya lakukan agar tidak terpeleset dalam kekeliruan logika tadi? “

“Karena forum ini adalah forum ilmiah, yang memerlukan aposteriori, sebuah pandangan yang muncul akibat pembuktian, bukan apriori, pandangan yang muncul sebelum ada bukti, ada baiknya Anda semua yang belum pernah belajar megenai Hypnosis secara akademik dan belum pernah belajar mengenai Ericksonian Hypnosis, saya undang untuk hadir di workshop besok. Silakan anda amati, dan setelah itu barulah anda jatuhkan putusan apakah mempelajari Hypnosis itu Wajib, Sunat, Mubah, Makruh atau Haram seperti yang Anda tuduhkan.”.

***

Hari kedua, workshop dibuka. Ruangan disiapkan untuk 20 orang peserta. Atas permintaan rekan ilmuwan yang menjadi audiens di seminar hasil penelitian pada hari pertama, akhirnya disesaki 35 orang. Uniknya 15 orang ini menempatkan diri menjadi pengamat, tidak mau menjadi peserta aktif.

Pada waktu awal workshop, saya katakan kepada mereka “Selama workshop ini, perlahan atau cepat, pandangan Anda terhadap Hypnosis dapat berubah, termasuk keterlibatan Anda, bisa jadi saat ini Anda hanya menjadi pengamat, lambat atau cepat Anda akan menjadi peserta aktif”.

Peserta-peserta yang menjadi pengamat cengar-cengir saja bahkan ada yang nyeletuk “Nggak mungkin”. Saya timpali langsung “Mari kita buktikan, atas kesediaan Anda sendiri, apapun menjadi mungkin”.

Kegiatan workshop berlangsung lancar. Dengan memanfaatkan keunikan peserta, kekhasan dari hal yang diyakini peserta, dan kebiasaan peserta dalam melakukan kegiatan peribadatan dan mengakses state khusyuk, membuat workshop menjadi lebih cair, gayeng, seru dan membuat pengamat bersedia mengubah status menjadi peserta aktif..

***

Usai workshop, saya mengajukan pertanyaan kepada salah satu pengamat eh peserta aktif, yang mempunyai pemahaman mengenai fikih, yurisprudensi Islam

“ Setelah Anda mengamati dan mengalami pembelajaran mengenai Hypnosis, menurut Anda apakah Anda menemukan apa yang Anda tuduhkan kemarin dalam mempelajari Hypnosis?”

“ Tidak tuh! Tidak ada memperdayai pemikiran orang lain. Saya tetap mempunyai kemerdekaan mau mengikuti atau menolak pembelajaran dan pemrograman sang terapis. Tidak ada juga memanipulasi kesadaran, saya merasa sadar penuh, bahkan sangat sadar dan focus!”

“ Jangan-jangan anda rasakan bahwa ada kekuatan Jin…?”

“ Ah… sebagai orang yang mempelajari Ruqyah… saya tidak menemukan JIN ikut-ikutan dalam proses ini, murni semuanya atas kendali diri sendiri”

“ Bila demikian halnya, menurut Anda saat ini ustadz apa hukum mempelajari Hypnosis?”

“Mempelajari Hypnosis menurut yang saya rasakan, bagi diri saya, sama seperti menuntut ilmu hukumnya fardu alias WAJIB”

“Ati-ati lho ustadz, menjatuhkan putusan!” kata saya “Saya jadi bingung nih, kemarin mengatakan HARAM sekarang katanya WAJIB?”

“Lho, kemarin kan saya mendasarkan putusan baru pada KATANYA. Saya bicara bukan karena pembuktian terlebih dahulu. Saya apriori saja. Sekarang saya bicara gini kan aposteriori, mengamati sendiri, membuktikan sendiri dan mengalami sendiri, dan ternyata apa yang saya tuduhkan itu, tidak terbukti, malah saya dapat bukti lain!”

“Apa yang anda maksudkan dengan bukti lain?

“Saya menjadi mengetahui bagaimana struktur mind, cara memanfaatkannya yang benar dan cara membuat diri lebih berdayaguna dan lebih bermanfaat bagi diri sendiri dan bagi orang lain”.

Apa iya hukumnya WAJIB, dilakukan mendapat pahala ditinggalkan berdosa ?”

“Ya , bukankah mensyukuri dan memanfaatkan apa yang diberikan Allah adalah WAJIB?”

“Ustadz, karena Anda belajar ilmu fikih, hukumnya belajar Hypnosis itu jadinya bagaimana?”

“ Ya tergantung?

“ Maksudnya….?

“ Tergantung apa materi yang dipelajarinya, maksud dari yang belajarnya , dan efeknya terhadap orang lain?

“ Jadi dapat beda-beda dong hukumnya ?”

“ Betul! Bisa jadi HARAM atau DILARANG, bila memang terbukti misalnya ada pemanfaatan Jin di dalamnya, untuk tujuan buruk atau memberikan efek buruk bagi orang lain”

“ Apakah bisa hukumnya SUNAH atau UTAMA ustadz ?’

“ Ya tentu, bila ternyata yang dipelajarinya adalah berkaitan dengan pemanfaatan kesadaran manusia yang dapat memberikan efek maslahat dan manfaat pada dirinya dan meningkatkan peluang untuk lahirnya kebaikan dan keutamaan”.

“ Apakah bisa hukumnya MAKRUH atau BAIK DIHINDARI ustadz ?”

“ Ya! Bila saja ternyata yang dipelajarinya adalah hampir nyerempet ke Syirik , atau si yang belajar bertujuan untuk ngisengin atau memanfaatkan kelemahan orang lain!”

“ Terima kasih ustadz, namun setelah ustadz sama-sama belajar dengan peserta lain, secara umum apa sih hukumnya belajar Hypnosis ?”

“ Ya, kalau itu sih kembali ke kaidah usul fikih, yang menyatakan hukum awal segala sesuatu itu adalah MUBAH atau BOLEH , sampai ada yang melarangnya”.

“ Lalu, atas dasar apa dong kemarin ustadz mengatakan HARAM?”

“ Kemarin itu, saya teringat kaidah usul fikih yang menyatakan “Mencegah kemunkaran itu harus lebih diutamakan daripada melakukan kebaikan”. Karena saya belum tahu persis mengenai manfaat dan mudorotnya belajar hypnosis, kan lebih aman bila kita menghindari keburukan yang dapat ditimbulkannya. Namun demikian sebagai ilmuwan, harusnya saya mengambil sikap tersebut setelah melakukan pembuktian, bukan sekedar percaya begitu saja”.

“ Jadi setelah ini, apa yang akan ustadz lakukan ?”

“ Ya , lebih kurang seperti Anda.”

“ Boleh dijelaskan?

“ Meluruskan pendapat yang keliru pada ummat, mengajarkannya untuk pemberdayaan ummat, dimulai dengan membangkitkan dirinya, sesuai pesan Nabi “ibda binafsika”, mulailah dari dirimu, juga selaras dengan ajakan ayat “Quw Anfusakum wa ahliykum Naaron” Jagalah dirimu dan keluargamu dari siksa neraka”.

“ Apa sudah siap dihujat seperti saya kemarin? Di depan banyak orang lagi? Bahaya lho!”

“ Saya sudah siap…

“ Caranya menjadi siap ?

“ Model saja Nabi Muhammad yang saat dihujat oleh ummatnya dan berdo’a “ Ya Tuhan, maafkanlah mereka, karena mereka belum mengetahui”.

***
WalLahu A’lam bis Showab.
**
Pun Sapun Ampun Paralum
Pakena Gawe Rahayu Sangkan Nanjung di Juritan Nanjeur di Buana

Asep Haerul Gani

psikolog mengadu ke siapa?

seorang dokter ketika sakit, dia akan memilih obat dan meminumnya dan jika harus membutuhkan dokter lain maka ia tak akan sungkan memanggilnya...karena tidak ada dokter yang mengoperasi dirinya sendiri. pertanyaan yang selama ini belum terjawab bagi saya adalah bagaimana jika yang mengalami masalah psikologis adalah psikolog itu sendiri? padahal saya sangat yakin kita hanya akan memberikan apa yang kita miliki. jika didalam kita ada penyakit maka sebenarnya dalam proses konseling atau psikoterapi saya khawatir kita hanya akan menularkan apa yang kita alami dan rasakan pada orang lain.
menjadi psikolog ternyata profesi yang tidak mudah...selesai dengan diri sendiri terlebih dahulu baru menyelesaikan masalah orang lain. itu idealnya.
tetapi psikolog juga manusis kan? yang tidak akan terlepas dari masalah dan beban hidup. lalu jika pada kondisi seperti ini kita mau mengadu pada siapa? pada psikolog lain? sebagian orang masih menganggapnya tabu kan? tapi mobil derek yang jatuh ke jurang membutuhkan mobil derek yang lain.

sebuah kondisi dilematis...

dalam kondisi seperti ini orang-orang terdekat yang kita cintai adalah tempat untuk berbagi tentang apa yang kita alami karena kita bukan malaikat. kita hanyalah sebagian kecil menusia yang punya niatan untuk membantu memfasilitasi orang lain menyelesaikan masalahnya. hanya itu saja! atau jika tidak ada orang lain disekitar kita, terminal terakhir adalah mengadukan apa yang kita alami pada Allah Dzat yang akan menjawab semua masalah kita, hanya sabar atau tidak kita untuk mengerti jawabanNya.

renungan akhir tahun bagi profesi yang menurut saya sangat mulia.
salam

Selasa, 21 April 2009

caleg stress

fenomena caleg stress pasca pemilu menghiasi pemberitaan di berbagai media yang ada. tidak tanggung-tanggung dari gejala neurosis sampai psikosis pun terjadi. ada yang sampai bunuh diri, merusak properti, menutup pasar, mengusir orang dan perilaku anaeh-aneh lainnya. demokrasi yang berujung pada crazy.
money politic ditengarai menjadi faktor pemicunya. ketidaksigapan PANWASLU dan budaya pragmatisme masyarakat membuat caleg terpancing untuk melakukan praktek money politic yang berujung pada kebangkrutan finansial. parktek kotor itu (baca: money politic) telah menghancurkan sendi-sendi kemasyarakatan...masyarakat kita diubah menjadi kelopompok peminta-minta. suara dijual 10 rb....tidak ada herga atas kebaikan orang,.....untuk apa? ambisi kekuasaan!! un sich.
siapa yang memulai? semuanya. baik para caleg busuk itu dan masyarakat yang busuk. kini semuanya telah ada balasan meskipun tidak keseluruhan denga ditunjukkannya caleg atau tim sukses yang mengalami gangguan kejiwaan.
siapa saja layak bertanggung jawab untuk merubah masyarakat dan perilaku elit kita dengan mengajarkan berfikir rasional pada semuanya. caranya? beri contoh dan konsisten dengan kebenaran.

Rabu, 04 Maret 2009

"ciri suami yang serius poligami"

setelah membaca sebuah artikel istri saya sambil bergurau mengatakan kalau suami yang sering mengoda dengan meminta untuk diijinkan melakukan poligami adalah laki-laki yang sebenarnya tidak ingin poligami. namun sebaliknya, suami yang cenderung diam dan tidak mau membicarakan poligami justru memendam keinginan yang besar untuk poligami.
"ha2..." saya tertawa, ketika kemudia dia kembali menanyakan " jangan-jangan aba (panggilan untuk saya" punya keinginan itu karena selama ini aba cenderung diam?"
saya hanya tersenyum dan mengatakan " lha... punya istri sau saja tidak diurusi dengan baik masak mau nambah lagi"

ya poligami adalah masalah yang sangat sensitif bagi seorang perempuan pada umumnya. orang rela bercerai ketika suaminya meminta ijin untuk melakukannya, tapi yang aneh banyak yang suamnya ketahuan selingkuh istrinya tidak minta cerai.

kenapa begitu sesnsitif ?
1. ketika seorang suami meminta poligami maka ada perasaan tidak berharga pada seorang istri
2. pola pikir yang terbentuk adalah bahwa poligami= pengabaian
3. pada dasarnya tidak ada yang ingin dibagi perhatiannya
4. anda tambahkan sendiri.

makanya seorang istri harus bisa menandai kapan suaminya melirik wanita lain :
1. HP ering ditaruh di tas atau di saku baju saat berada di rumah, atau bahkan dibawa kekamarmandi
2. Pulsa cepet habis, tapi isi SMS dan riwayat panggilan itu-itu saja ( karena suami anda telah menghapusnya)
3. Tanpa alasan kadang dia merayu anda : boleh jadi itu sebagai kompensasi rasa bersalahnya
4. Suka memperhatikan penampilan tidak seperti biasanya
5. Menjadi sangat sensitif ketika istri sudah mulai curiga
6. dll

tapi saya tidak sedang mengajarkan prasangka buruk hanya langkah untuk waspada .
SELAMAT MENGIDENTIFIKASI

Karena wanita ingin dimengerti

Karena Wanita Ingin Dimengerti

Pernah-pernik kisah kehidupan berumah tangga kadang membuat saya sedih, tapi banyak juga yang membuat saja tersenyum ketika membaca atau mendengarnya. Seperti Ibu saya. Pernah suatu ketika ayah saya sedikit marah kepada Ibu saya. Ibu saya tak mau berkomentar atau membalas dengan kemarahan serupa. Hanya saja, langsung masuk ke kamar dan menangis sejadinya. Kalau sudah begitu, ayah saya luluh juga, kemudian minta maaf karena mungkin telah berlaku kasar atau marah yang kadang hanya karena persoalan sepele saja. Untuk mereka berdua, salam cinta, semoga dirumah baik-baik saja

Ada cerita dari dosen dan juga “guru mengaji “ saya. Suatu ketika istrinya bepergian untuk urusan tertentu dan sang suaminya belum berkesempatan menemani karena alasan kesibukan. Perjalanan cukup jauh dan melelahkan. Dalam kondisi seperti itu, istrinya ingin sekali mendapatkan hiburan dari suaminya. Yah, sebuah SMS menanyakan kabarnya cukuplah. Tapi itu tidak dilakukan oleh suaminya. Dan tentu saja, istrinya bete. “Suamiku tega sekali, nggak khawatir apa dengan diriku” begitu kira-kira.

Setelah urusan selesai, pulanglah sang istri ke rumah. Mengucapkan salam lantas masuk kerumahnya. Apa yang terjadi, ternyata suaminya biasa saja. Tak mengekspresikan rasa kangennya kepada istrinya. Dan bagi istrinya, ibarat sebuah pertandingan, itu merupakan pukulan telak, kecewa..kecewa. Awalnya suaminya cuek saja. Tapi pada akhirnya dia menyadari bahwa sikapnya kurang benar. Ya, setidaknya membukakan pintu dan tersenyum sambil basa-basi menanyakan apakah perjalanannya baik-baik saja itu cukup. Tapi sayang, hal itu tak dilakukannya. Dia baru sadar ketika melihat gelagat istrinya yang lagi benar-benar BT alias butuh tatih tayang….

Ada juga kisah imajinatif yang inspiratif….tentang ayam dan bebek.

Suatu ketika sepasang pengantin baru berjalan-jalan menikmati indahnya perkampungan yang masih belum tersentuh bising dan aroma kota. Ketika mereka bercanda, tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan “Kuek.kuek..kuek”

“Dengar sayang, ada ayam” kata istrinya

“bukan..bukan, itu suara bebek” kata suaminya.

“nggak, itu suara ayam” istrinya bersikeras.

“istriku..itu suara bebek, suara ayam itu bunyinya kukururyuuuuk, kalau bebek itu ya kuek..kuek..kuek, nah itu bebek sayang, bukan ayam “kata suaminya mencoba menjelaskan.

“Nggak, aku yakin itu suara ayam” kata istrinya

“Sayang, itu bebek, kamu ini..kamuuuuuuuu” suaminya agak kesal

seketika itu basahlah pipi istrinya, dia menangis sambil tersendu tapi tetap berkata.

“Aku yakin itu ayam, bukan bebek” masih kata istrinya.

Kemudian sang suami sadar tak mau ribut lagi dan berkata.

“Ya kamu benar sayang, itu suara ayam” kata suaminya bersamaan dengan suara dari kejauhan ..kuek..kuek..kuek..

Kadang seorang suami memang perlu bersikap demikian. Untuk sesuatu yang kecil dan sepele tak perlu terlalu diributkan. Yang terpenting adalah membangun keharmonisan rumah tangga. Pertikaian dan hancurnya rumah tangga seringkali terjadi karena kita meributkan hal-hal sepele. Maka dari itu, untuk mencegahnya kita perlu sesekali memahami isi hati seorang wanita yang kita cintai itu

Dan pada akhirnya, untuk menghormati dia, seorang wanita yang kita cintai, kita perlu bersikap bijaksana. Itu semua perlu dilakukan, seperti syair dalam lagu pop… karena wanita ingin dimengerti. Itu saja. (yon’s revolta)

~Snow Man Alone~ awal September 2006

freelance_corp (at) yahoo.com

artikel ini dari: WWW.DUDUNG.NET

Jumat, 17 Oktober 2008

video thiya

Menghafal AlQuran

Selasa, 16 September 2008

menerima penyaluran zakat

bagi teman-teman atau siapa saja yang membaca blog ini munkin ada yang mau menyalurkan zakatnya, saya insyaAllah akan menyalurkan untuk membantu biaya pendidikan dan biaya kehidupan masyarakat didaerah gunungkidul yogyakarta.
terima kasih atas perhatiannya.