Kamis, 07 Januari 2010

Terapi Anak: Gampang-Gampang Susah (Adi W Gunawan)

dimuat di : http://www.adiwgunawan.com/awg.php?co=p5&mode=detil&ID=228

Seorang Ibu mengeluhkan tingkah laku anaknya, yang berusia 5 tahun, yang menurutnya “liar”, “sulit diatur”, “seenaknya sendiri”, dan mengidap ADHD alias hiperaktif. Prihatin dengan kondisi ini saya memutuskan untuk membantunya dan memberikan jadwal bertemu.

Ibu ini, sebut saja Bu Ani, datang bersama putranya, Budi, ditemani seorang anggota keluarganya. Singkat cerita setelah melakukan diskusi dan wawancara mendalam selama hampir 1 jam saya memutuskan bahwa saya tidak bisa membantu menerapi anak ini. Lho, kok?

Bu Ani sudah tentu terperanjat mendengar keputusan saya dan meminta saya menjelaskan alasan di balik keputusan ini. Lha, dia datangnya jauh-jauh dari luar pulau, berharap bisa mendapat bantuan dari seseorang yang dipandang pakar, eh… setelah bertemu terapisnya malah angkat tangan.

Pembaca, anda mungkin juga bingung mengapa saya sampai “menyerah”?

Ceritanya begini. Sebenarnya melakukan terapi pada anak tidaklah sulit. Secara umum, dalam dunia hipnoterapi kita menggunakan sugesti untuk mempengaruhi dan memodifikasi program pikiran yang ada di pikiran bawah sadar.Saat anak masih kecil maka program pikirannya masih belum kuat dan sangat mudah untuk diotak-atik.

Sugesti ini bisa bersifat langsung maupun yang tidak langsung. Bisa juga menggunakan cerita yang berisi pesan-pesan (baca: program/sugesti) tertentu. Dan asyiknya melakukan terapi pada anak kita tidak perlu melakukan induksi untuk membawa anak masuk kondisi trance. Mengapa? Saat anak masih kecil, critical factor anak masih belum terbentuk atau masih lemah sehingga sangat mudah ditembus. Dengan kata lain anak pada umumnya telah berada dalam kondisi trance.

Sugesti yang diberikan biasanya sangat manjur untuk membantu anak untuk berubah. Apalagi bila orangtua mendukung dengan melakukan “terapi” (baca: perubahan pola asuh) di rumah.

Ini skenario yang ideal. Anak dibawa ke terapis. Terapis melakukan hal-hal yang perlu dilakukan untuk membantu anak mengubah perilakunya dan perubahan ini diperkuat dengan bantuan kedua orangtuanya di rumah. Enak tenan jika dapat klien seperti ini.

Namun ceritanya tidak selalu seindah dan semudah contoh di atas. Pada kasus di atas yang saya tangani dan juga pada sangat banyak kasus lain yang ditangani rekan sejawat saya, kesulitan terbesar adalah terlalu banyak faktor yang mempengaruhi kehidupan anak sehingga akhirnya anak menjadi “bermasalah”. Bingung?

Mudahnya begini. Anak tumbuh besar dalam satu keluarga. Dan apa yang ia alami, saat tumbuh kembang, berinteraksi, dan menjalani hidupnya, mulai kecil hingga besar semuanya dipengaruhi secara langsung, maupun tidak langsung oleh lingkungannya.

Apa yang dimaksud dengan lingkungan? Apakah rumah atau lingkungan tempat tinggalnya?

Yang dimaksud dengan lingkungan adalah lebih tepatnya siapa saja yang berinteraksi secara intens dengan anak pada masa pertumbuhannya. Siapa yang menjadi pengasuh utamanya sejak ia kecil? Dan apa saja yang pengasuh ini lakukan atau berikan kepada si anak? Pengalaman hidup seperti apa yang anak alami? Semua pengalaman hidup ini mengakibatkan terciptanya perilaku tertentu dalam diri anak.

Pola hidup di timur berbeda dengan di barat. Di barat, yang dimaksudkan dengan keluarga adalah ayah, ibu, dan anak (bisa hanya satu anak, bisa lebih) yang tinggal di satu rumah. Sedangkan di timur, yang dimaksud dengan keluarga adalah ayah, ibu, anak (bisa hanya satu anak, bisa lebih) , dan biasanya masih ada kakek, nenek, paman, tante, suster, pembantu yang tinggal di rumah yang sama, dan juga termasuk “pengasuh” TV.

Jika di barat, saat terapis menangani kasus anak yang “bermasalah” maka yang dilakukan terapis adalah menerapi si anak dan melakukan edukasi pada kedua orangtua untuk bisa membantu anak berubah. Orangtua melakukan peran mereka di rumah dan menjadi partner terapis. Ini yang kita lihat di acara televisi Nanny 911. Hanya dalam waktu yang sangat singkat anak dan keluarga itu mengalami transformasi yang sungguh luar biasa.

Di Indonesia, kita, terapis, selain perlu menerapi anak, juga perlu memberikan edukasi pada kedua orangtuanya. Ada orangtua yang dengan sadar mengakui kesalahan mereka dalam mendidik anak sehingga mengakibatkan anak mereka menjadi bermasalah. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa mereka bertanggung jawab atas apa yang anak mereka alami dan bersedia belajar dan berubah demi kebaikan dan kemajuan anak. Jika bertemu dengan orangtua seperti ini maka terapi menjadi sangat mudah dan efektif.

Namun ada juga kedua orangtua yang sama sekali tidak bersedia bekerjasama. Maunya mereka anak ini dibawa ke terapis dan begitu keluar dari ruang terapi anak sudah “beres” luar dalam. Mereka berasumsi bahwa yang bermasalah adalah si anak, bukan mereka. Jadi yang perlu dibereskan adalah anak. Padahal kita tahu bahwa anak adalah produk dari sistem keluarga. Lha, kalau produknya “cacat” berarti yang perlu dibenahi sebenarnya adalah sistem yang menghasilkan produk itu, bukan produknya.

Saya biasa menyebut orangtua seperti ini sebagai orangtua tipe “laundry”. Anak diibaratkan baju yang kotor dan dibawa ke binatu. Begitu keluar dari binatu maka baju sudah bersih, rapi, wangi, dan licin. Kalau seperti ini kondisinya

Ada lagi yang hanya salah satu orangtua saja yang mau berubah dan mendukung proses terapi. Ini juga problem yang sering kita hadapi saat memberikan terapi pada anak atau keluarga.

Kesulitan lainnya, walaupun orangtua telah bersedia berubah demi anak mereka, seringkali faktor X seperti pengaruh dari orang tua lain yang tinggal bersama anak itu, misalnya kakek, nenek, paman, kakak, tante, suster, atau pembantu, plus televisi, tidak mendukung proses perubahan yang sedang diupayakan terjadi dalam diri anak.

Untuk lebih memudahkan anda memahami apa yang saya ceritakan saya akan memberikan contoh beberapa skenario yang biasanya terjadi. Skenario ini dengan asumsi terapisnya kompeten melakukan terapi.

Anda bisa membayangkan anak seperti sebuah komputer yang siap untuk diprogram. Nah, siapa saja yang akan menjadi programmer yang memasukkan program yang mempengaruhi hidup anak?

Skenario pertama: Anak bermasalah, kedua orangtua mendukung proses terapi, dan di rumah tidak ada faktor lain yang mempengaruhi proses terapi yang diberikan. Kalau ini yang terjadi maka terapi akan berjalan mulus dan mudah.

Skenario kedua: Anak bermasalah, hanya salah satu orangtua saja, misalnya ibu atau ayah, yang mendukung proses terapi, dan di rumah tidak ada faktor lain yang mempengaruhi proses terapi yang diberikan. Kalau ini yang terjadi maka terapi akan mengalami hambatan.

Skenario ketiga: Anak bermasalah, kedua orangtua sama sekali tidak bersedia mendukung proses terapi, dan di rumah tidak ada faktor lain yang mempengaruhi proses terapi yang diberikan. Kalau ini yang terjadi maka terapi tidak mungkin bisa dilakukan.

Skenario keempat: Anak bermasalah, kedua orangtua mendukung proses terapi, namun di rumah ada faktor lain yang mempengaruhi proses terapi yang diberikan. Misalnya ada orang tua lain, seperti kakek, nenek, paman, tante, kakak, suster, dan atau televisi yang memberikan pengaruh yang tidak sejalan dengan proses terapi yang dilakukan. Kalau ini yang terjadi maka terapi akan sangat terhambat, jika tidak mau dikatakan tidak bisa dilakukan. Apapun yang dilakukan terapis bersama kedua orangtua anak akan mendapat hambatan. Ini sama seperti melakukan lomba Tag Team di mana 3 orang, terapis dan kedua orangtua anak, beradu kekuatan melawan tim lain yang terdiri dari kakek, nenek, paman, tante, kakak, suster, atau televisi.

Skenario kelima: Sama seperti skenario keempat namun yang mendukung proses terapi hanya salah satu orangtua. Dalam kondisi ini terapi tidak akan efektif.

Skenario keenam: Semua anggota keluarga di rumah sama sekali tidak mendukung proses terapi. Jika ini yang terjadi maka terapi sama sekali tidak bisa dilakukan. Karena dalam skenario ini yang terjadi adalah terapis “melawan” tim lain yang jauh lebih kuat.

Anda jelas sekarang?

Alasan saya “menyerah” menangani Budi karena kasusnya masuk kategori kelima. Selain si ayah sama sekali tidak mau tahu mengenai kondisi anak, di rumah juga ada kakek dan nenek si anak, yang nota bene adalah mertua Bu Ani, yang pola asuh dan pendidikannya berbeda dengan yang diterapkan oleh Bu Ani. Dalam hal ini selain terjadi konfllik pola asuh juga inkonsistensi dan penanaman belief dan nilai-nilai hidup.

Oh ya, yang saya ceritakan di atas adalah skenario yang ada pada anak dan keluarganya. Bagaimana dengan si terapis?

Ada beberapa faktor yang juga mempengaruhi hasil dan proses terapi. Pertama, terapis harus memiliki kompetensi yang baik. Kedua, pengalaman nyata dalam kehidupan berkeluarga. Ini sangat penting untuk postur dan meyakinkan kedua orangtua anak bahwa si terapis benar-benar tahu apa yang ia lakukan.

Jika, misalnya, si terapis masih sangat muda usianya, apalagi belum menikah, dan dalam proses terapi perlu melakukan edukasi pada orangtua anak mengenai cara mendidik anak yang baik, maka seringkali saran dari terapis ini tidak dijalankan atau dilakukan oleh orangtua. Padahal saran yang diberikan sudah benar dan sangat bagus.

Mengapa?

Secara pikiran sadar kedua orangtua bisa menerima saran dari terapis. Namun secara pikiran bawah sadar mereka tidak yakin pada si terapis karena terapisnya selain usianya masih sangat muda juga belum punya anak.

Pembaca, anda jelas sekarang? Melakukan terapi pada anak memang gampang-gampang susah. Jika boleh memilih, saya lebih suka melakukan terapi pada orang dewasa karena, dari pengalaman saya, lebih mudah. Lebih mudahnya bukan karena kasusnya ringan namun lebih mudah karena faktor X yang mempengaruhi klien tidaklah sebanyak yang mempengaruhi anak.

Saya akhirnya mengajarkan beberapa hal penting kepada Bu Ani untuk dilakukan di rumah untuk membantu Budi. Namun jujur saya tidak bisa berharap banyak karena yang mau membantu Budi hanyalah Ibunya. Sedangkan anggota keluarga yang lain tidak bisa diajak kerjasama.

Tidak ada komentar: